Jalan Golongan Yang Selamat (Bagian 10)
Urgensi Tauhid
1. Sesungguhnya Allah menciptakan segenap alam agar mereka menyembah kepada-Nya. Mengutus para Rasul untuk menyeru semua manusia agar mengesakan-Nya. Al-Quranul Karim dalam banyak suratnya menekankan tentang arti pentingnya aqidah tauhid. Menjelaskan bahaya syirik atas pribadi dan jama’ah. Dan syirik merupakan penyebab kehancuran di dunia serta keabadian di dalam Neraka.
2. Semua para Rasul memulai dakwah (ajakan)nya kepada tauhid. Hal ini merupakan perintah Allah yang harus mereka sampaikan kepada umat manusia. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَاۤ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا نُوْحِيْۤ اِلَيْهِ اَنَّهٗ لَاۤ اِلٰهَ اِلَّاۤ اَنَاۡ فَاعْبُدُوْنِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku maka sembahlah Aku”. (QS. Al Anbiya: 25).
Selama tiga belas tahun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tinggal di kota Makkah. Selama itu, beliau mengajak kaumnya untuk mengesakan Allah, memohon kepada-Nya semata, tidak kepada yang lain. Diantara wahyu yang diturunkan kepada beliau saat itu adalah:
قُلْ اِنَّمَاۤ اَدْعُوْا رَبِّيْ وَلَاۤ اُشْرِكُ بِهٖۤ اَحَدًا
“Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya”. (QS. Al Jin: 20).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendidik para pengikutnya kepada tauhid sejak kecil. Kepada anak pamannya, Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhu, beliau bersabda:
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
“Bila kamu meminta, mintalah kepada Allah dan bila kamu memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah”. [HR. At Tirmidzi, ia berkata: "Hadits hasan shahih"].
Tauhid inilah yang di atasnya didirikan hakikat ajaran Islam. Dan Allah tidak menerima seseorang yang mempersekutukan-Nya.
3. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendidik para Shahabatnya agar memulai dakwah kepada umat manusia dengan tauhid. Ketika mengutus Mu’adz ke Yaman sebagai Dai, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْ إلَيْهِ شَهَادَةَ أنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللُّه. وَفِيْ رِوَايَةٍ : إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ
“Hendaknya yang pertama kali kamu serukan mereka adalah bersaksi, “Sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah”. Dalam riwayat lain disebutkan: “Agar mereka mengesakan Allah”. [Muttafaq ‘Alaih].
4. Sesungguhnya tauhid tercermin dalam kesaksian bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Maknanya, tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan tidak ada ibadah yang benar kecuali apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kalimat syahadat ini bisa memasukkan orang kafir ke dalam agama Islam, karena ia adalah kunci Surga. Orang yang mengikrarkannya akan masuk Surga selama ia tidak dirusak dengan sesuatu yang bisa membatalkannya, misalnya syirik atau kalimat kufur.
5. Orang-orang kafir Quraisy pernah menawarkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kekuasaan, harta benda, isteri dan hal lain dari kesenangan dunia, tetapi dengan syarat beliau meninggalkan dakwah kepada tauhid dan tak lagi menyerang berhala-berhala. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menerima semua tawaran itu dan tetap terus melanjutkan dakwahnya. Maka tak mengherankan, dengan sikap tegas itu, beliau bersama segenap Shahabatnya menghadapi banyak gangguan dan siksaan dalam perjuangan dakwah, sampai datang pertolongan Allah dengan kemenangan dakwah tauhid setelah berlalu masa tiga belas tahun. Sesudah itu, kota Makkah ditaklukkan dan berhala-berhala dihancurkan, ketika itulah beliau membaca ayat:
وَقُلْ جَآءَ الْحَـقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۗ اِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا
“Dan katakanlah, Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap. Sungguh, yang batil itu pasti lenyap”. (QS. Al Isra’: 81).
6. Tauhid adalah tugas setiap muslim dalam hidupnya. Seorang muslim memulai hidupnya dengan tauhid dan meninggalkan hidup ini pula dengan tauhid. Tugasnya di dalam hidup adalah berdakwah dan menegakkan tauhid, karena tauhid mempersatukan orang-orang beriman dan menghimpun mereka dalam satu wadah kalimat tauhid.
Kita memohon kepada Allah, semoga menjadikan kalimat tauhid sebagai akhir dari ucapan kita di dunia, serta mempersatukan umat Islam dalam satu wadah kalimat tauhid. Aamiin.
▪ Keutamaan Tauhid
1. Allah Ta’ala berfirman:
اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْۤا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰٓئِكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan Iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk”. (QS. Al An’am: 82).
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu meriwayatkan: Ketika ayat ini turun, banyak umat Islam yang merasa sedih dan berat. Mereka berkata: “Siapa diantara kita yang tidak berlaku zhalim kepada dirinya sendiri?”. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Yang dimaksud bukan itu (kezhaliman), tetapi syirik. Belumkah kalian mendengar nasihat Luqman kepada puteranya:
يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗ اِنَّ الشِّرْكَ لَـظُلْمٌ عَظِيْمٌ
“Wahai anakku, janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezhaliman yang besar”. (QS. Luqman: 13). [Mutafaq 'Alaih].
Ayat ini memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengesakan Allah. Orang-orang yang tidak mencampuradukkan antara keimanan dengan syirik. Serta menjauhi segala bentuk perbuatan syirik. Sungguh mereka akan mendapatkan keamanan yang sempurna dari siksaan Allah di akhirat. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk di dunia.
2. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ، أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ : لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ
“Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama yaitu perkataan Laa ilaha illallah, dan yang paling ringan yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan”. [HR. Muslim].
▪ Tauhid Pengantar Kebahagiaan Dan Pelebur Dosa
Dalam kitab Dalilul Muslim fil I’tiqaadi wat Tathhiir, karya Syaikh Abdullah Khayyath dijelaskan: “Seseorang dengan kemanusiaan dan ketidak maksumannya, setiap manusia berkemungkinan terpeleset, terjerumus dalam maksiat kepada Allah”.
Jika dia adalah seorang ahli tauhid yang murni dari kotoran-kotoran syirik, maka tauhidnya kepada Allah, serta ikhlasnya dalam mengucapkan “Laa ilaaha illallah” menjadi penyebab utama bagi kebahagiaan dirinya, serta menjadi penyebab bagi penghapusan dosa-dosa dan kejahatannya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُه وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَالْـجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللهُ الْـجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنْ الْعَمَلِ
“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah tiada sekutu baginya, Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, Isa adalah hamba dan utusan-Nya kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam serta merupakan salah satu ruh ciptaan-Nya, Surga adalah haq dan Neraka adalah haq, maka akan Allah masukkan dia ke dalam Surga sesuai dengan amalannya”. [HR. Al Bukhari dan Muslim].
Maksudnya, segenap persaksian yang dilakukan oleh seorang muslim sebagaimana terkandung dalam hadits di atas mewajibkan dirinya masuk Surga, tempat segala kenikmatan. Sekalipun dalam sebagian amal perbuatannya terdapat dosa dan maksiat. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadits qudsi dari Anas bin Malik, radhiallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman:
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
“Wahai anak Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi kemudian engkau tidak berbuat syirik pada-Ku dengan sesuatu apapun , maka Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi itu pula”. [HR. Tirmidzi no. 3540. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib].
Maknanya, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa dan maksiat yang banyaknya hampir sepenuh bumi, tetapi engkau meninggal dalam keadaan bertauhid, niscaya Aku ampuni segala dosa-dosamu itu.
Dalam hadits dari Jabir, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak berbuat syirik pada Allah dengan sesuatu apapun, maka ia akan masuk Surga. Barangsiapa yang mati dalam keadaan berbuat syirik pada Allah, maka ia akan masuk Neraka”. [HR. Muslim no. 93].
Hadits-hadits di atas menegaskan tentang keutamaan tauhid Tauhid merupakan faktor terpenting bagi kebahagiaan seorang hamba. Tauhid juga merupakan sarana yang paling agung untuk melebur dosa-dosa dan maksiat.
▪ Manfaat Tauhid
Jika tauhid yang murni terealisasi dalam hidup seseorang, baik secara pribadi maupun jama’ah, niscaya akan menghasilkan buah yang amat manis. Di antara buah yang didapat adalah:
1. Memerdekakan manusia dari perbudakan serta tunduk kepada selain Allah, baik benda-benda atau makhluk lainnya.
Semua makhluk adalah ciptaan Allah. Mereka tidak kuasa untuk menciptakan, bahkan keberadaan mereka karena diciptakan. Mereka tidak bisa memberi manfaat atau bahaya kepada dirinya sendiri. Tidak mampu mematikan, menghidupkan atau membangkitkan.
Tauhid memerdekakan manusia dari segala perbudakan dan penghambaan kecuali kepada Tuhan yang menciptakan dan membuat dirinya dalam bentuk yang sempurna. Memerdekakan hati dari tunduk, menyerah dan menghinakan diri. Memerdekakan hidup dari kekuasaan para Fir’aun, pendeta dan dukun yang menuhankan diri atas hamba-hamba Allah.
Karena itu, para pembesar kaum musyrikin dan thaghut-thaghut jahiliyah menentang keras dakwah para Nabi, khususnya dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab mereka mengetahui makna Laa ilaaha illallah sebagai suatu permakluman umum bagi kemerdekaan manusia. Ia akan menggulingkan para penguasa yang zhalim dan angkuh dari singgasana dustanya, serta meninggikan derajat orang-orang beriman yang tidak bersujud kecuali kepada Tuhan semesta alam.
2. Membentuk kepribadian yang kokoh.
Tauhid membantu dalam pembentukan kepribadian yang kokoh. Ia menjadikan hidup dan pengalaman seorang ahli tauhid begitu istimewa. Arah hidupnya jelas, tidak mempercayai Tuhan kecuali hanya kepada Allah. Kepada-Nya ia menghadap, baik dalam kesendirian atau di tengah keramaian orang. Ia berdoa kepada-Nya dalam keadaan sempit atau lapang.
Berbeda dengan seorang musyrik yang hatinya terbagi-bagi untuk Tuhan-Tuhan dan sesembahan yang banyak. Suatu saat ia menghadap dan menyembah kepada orang hidup, pada saat lain ia menghadap kepada orang yang mati.
Sehubungan dengan ini, Nabi Yusuf 'alaihis salam berkata:
يٰصَاحِبَيِ السِّجْنِ ءَاَرْبَابٌ مُّتَفَرِّقُوْنَ خَيْرٌ اَمِ اللّٰهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
“Wahai kedua penghuni penjara. Manakah yang baik, Tuhan-Tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa, Maha Perkasa?” (QS. Yusuf: 39).
Orang mukmin menyembah satu Tuhan. Ia mengetahui apa yang membuat-Nya ridha dan murka. Ia akan melakukan apa yang membuat-Nya ridha, sehingga hatinya tenteram. Adapun orang musyrik, ia menyembah tuhan-tuhan yang banyak. Tuhan ini menginginkannya ke kanan, sedang tuhan lainnya menginginkannya ke kiri. Ia terombang-ambing di antara tuhan-tuhan itu, tidak memiliki prinsip dan ketetapan.
3. Tauhid sumber keamanan manusia.
Sebab tauhid memenuhi hati para ahlinya dengan keamanan dan ketenangan. Tidak ada rasa takut kecuali kepada Allah. Tauhid menutup rapat celah-celah kekhawatiran terhadap rizki, jiwa dan keluarga. Ketakutan terhadap manusia, jin, kematian dan lainnya menjadi sirna. Seorang mukmin yang mengesakan Allah hanya takut kepada satu, yaitu Allah. Karena itu, ia merasa aman ketika manusia ketakutan, serta merasa tenang ketika mereka kalut.
Hal itu diisyaratkan oleh Al Quran dalam firman-Nya:
اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْۤا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰٓئِكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan Iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk”. (QS. Al An’am: 82).
Keamaan ini bersumber dari dalam jiwa, bukan oleh penjaga-penjaga polisi atau pihak keamanan lainnya. Dan keamanan yang dimaksud adalah keamanan dunia. Adapun keamanan akhirat maka lebih besar dan lebih abadi mereka rasakan.
Yang demikian itu mereka peroleh, sebab mereka mengesakan Allah, mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah dan tidak mencampuradukkan tauhid mereka dengan syirik, karena mereka mengetahui, syirik adalah kezhaliman yang besar.
4. Tauhid sumber kekuatan jiwa.
Tauhid memberikan kekuatan jiwa kepada pemiliknya, karena jiwanya penuh harap kepada Allah, percaya dan tawakkal kepada-Nya, ridha atas qadar (ketentuan)-Nya, sabar atas musibah-Nya, serta sama sekali tak mengharap sesuatu kepada makhluk. Ia hanya menghadap dan meminta kepada-Nya. Jiwanya kokoh seperti gunung. Bila datang musibah ia segera mengharap kepada Allah agar dibebaskan darinya. Ia tidak meminta kepada orang-orang mati. Syi’ar dan semboyannya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
“Bila kamu meminta maka mintalah kepada Allah. Dan bila kamu memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah”. [HR. At Tirmidzi, ia berkata: "Hadits hasan shahih"].
Dan firman Allah Ta’ala:
وَاِنْ يَّمْسَسْكَ اللّٰهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهٗۤ اِلَّا هُوَ
“Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia”. (QS. Al An’am: 17).
5. Tauhid dasar persaudaraan dan persamaan.
Tauhid tidak membolehkan pengikutnya mengambil Tuhan-Tuhan selain Allah diantara sesama mereka. Sifat ketuhanan hanya milik Allah satu-satunya dan semua manusia wajib beribadah kepada-Nya. Segenap manusia adalah hamba Allah, dan yang paling mulia diantara mereka adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
▪ Musuh-Musuh Tauhid
Allah Ta’ala berfirman:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيٰطِيْنَ الْاِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِيْ بَعْضُهُمْ اِلٰى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا
“Dan demikianlah untuk setiap Nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan untuk manusia”. (QS. Al An’am: 112).
Diantara hikmah dan kebijaksanaan Allah adalah menjadikan bagi para Nabi du’at tauhid dan musuh-musuh dari jenis setan-setan jin yang membisikkan kesesatan, kejahatan dan kebatilan kepada setan-setan dari jenis manusia. Hal itu untuk menyesatkan dan menghalangi mereka dari tauhid yang merupakan dakwah utama dan pertama para Nabi kepada kaumnya.
Sebab tauhid merupakan asas penting yang di atasnya dibangun dakwah Islam. Anehnya, sebagian orang berasumsi, dakwah kepada tauhid hanya akan memecah belah umat. Padahal justru sebaliknya, tauhid akan mempersatukan umat. Sungguh namanya saja (tauhid berarti mengesakan, mempersatukan) menunjukkan hal itu.
Adapun orang-orang musyrik yang mengakui tauhid Rububiyah, dan bahwa Allah pencipta mereka, mereka mengingkari tauhid Uluhiyah dalam berdoa kepada Allah semata, dengan tidak mau meninggalkan berdoa kepada wali-wali mereka. Kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajak mereka mengesakan Allah dalam ibadah dan doa, mereka berkata:
اَجَعَلَ الْاٰلِهَةَ اِلٰهًا وَّاحِدًا ۖ اِنَّ هٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Apakah dia menjadikan Tuhan-Tuhan itu Tuhan yang satu saja? Sungguh, ini benar-benar sesuatu yang sangat mengherankan”. (QS. Sad: 5).
Tentang umat-umat terdahulu Allah Ta’ala berfirman:
كَذٰلِكَ مَاۤ اَتَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِّنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا قَالُوْا سَاحِرٌ اَوْ مَجْنُوْنٌ اَتَوَاصَوْا بِهٖ ۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُوْنَ
“Demikianlah setiap kali seorang Rasul yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, mereka (kaumnya) pasti mengatakan, Dia itu pesihir atau orang gila. Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu. Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas”. (QS. Az Zariyat: 52).
Diantara sifat kaum musyrikin adalah jika mereka mendengar seruan kepada Allah semata, hati mereka menjadi kesal dan melarikan diri, mereka kufur dan mengingkarinya. Tetapi jika mendengar syirik dan seruan kepada selain Allah, mereka senang dan berseri-seri. Allah menyifati orang-orang musyrik itu dengan firman-Nya:
وَاِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَحْدَهُ اشْمَاَزَّتْ قُلُوْبُ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِالْاٰخِرَةِ ۚ وَاِذَا ذُكِرَ الَّذِيْنَ مِنْ دُوْنِهٖۤ اِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ
“Dan apabila yang disebut hanya nama Allah, kesal sekali hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat. Namun apabila nama-nama sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka menjadi bergembira”. (QS. Az Zumar: 45).
Allah Ta’ala berfirman:
ذٰ لِكُمْ بِاَنَّهٗۤ اِذَا دُعِيَ اللّٰهُ وَحْدَهٗ كَفَرْتُمْ ۚ وَاِنْ يُّشْرَكْ بِهٖ تُؤْمِنُوْا ۗ فَالْحُكْمُ لِلّٰهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيْرِ
“Yang demikian itu karena sesungguhnya kamu mengingkari apabila diseru untuk menyembah Allah saja. Dan jika Allah disekutukan, kamu percaya. Maka keputusan (sekarang ini) adalah pada Allah Yang Maha Tinggi, Maha Besar”. (QS. Ghafir: 12).
Ayat-ayat di atas meski ditujukan kepada orang-orang kafir, tetapi bisa juga berlaku bagi setiap orang yang memiliki sifat seperti orang-orang kafir. Misalnya mereka yang mendakwahkan dirinya sebagai orang Islam, tetapi memerangi dan memusuhi seruan tauhid, membuat fitnah dusta kepada mereka, bahkan memberi mereka julukan-julukan yang buruk. Hal itu dimaksudkan untuk menghalangi manusia menerima dakwah mereka, serta menjauhkan manusia dari tauhid yang karena itu Allah mengutus para rasul.
Termasuk dalam golongan ini adalah orang-orang yang jika mendengar doa kepada Allah hatinya tidak khusyu’. Tetapi jika mendengar doa kepada selain Allah, seperti meminta pertolongan kepada rasul atau para wali, hati mereka menjadi khusyu’ dan senang. Sungguh alangkah buruk apa yang mereka kerjakan.
▪ Sikap Ulama Terhadap Tauhid
Ulama adalah pewaris para Nabi, dan menurut keterangan Al-Quran, yang pertama kali diserukan oleh para Nabi adalah tauhid, sebagaimana disebutkan Allah dalam firman-Nya:
وَلَـقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ ۚ
“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang Rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), Sembahlah Allah, dan jauhilah Thagut”. (QS. An Nahl: 36).
Karena itu wajib bagi setiap Ulama untuk memulai dakwahnya sebagaimana para Rasul memulai. Yakni pertama kali menyeru manusia kepada mengesakan Allah dalam segala bentuk peribadatan. Terutama dalam hal doa, sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الدُّعَاءُ هُوَ العِبَادَةُ
“Doa adalah ibadah”. [HR. Tirmidzi no. 2969. Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani].
Saat ini kebanyakan umat Islam terjerumus ke dalam perbuatan syirik dan berdoa (memohon) kepada selain Allah. Hal inilah yang menyebabkan kesengsaraan mereka dan umat-umat terdahulu. Allah membinasakan umat-umat terdahulu karena mereka berdoa dan beribadah kepada selain Allah, seperti kepada para wali, orang-orang shalih dan sebagainya.
Adapun sikap Ulama terhadap tauhid dan dalam memerangi syirik, terdapat beberapa tingkatan:
1. Tingkatan paling utama, mereka adalah Ulama yang memahami tauhid, memahami arti penting tauhid dan macam-macamnya. Mereka mengetahui syirik dan macam-macamnya. Selanjutnya para Ulama itu melaksanakan kewajiban mereka: Menjelaskan tentang tauhid dan syirik kepada manusia dengan menggunakan hujjah (dalil) dari Al Quranul Karim dan hadits-hadits shahih.
Para Ulama tersebut, tak jarang (sebagaimana para Nabi) dituduh dengan berbagai macam tuduhan bohong, tetapi mereka sabar dan tabah. Syi’ar dan semboyan mereka adalah firman Allah:
وَاصْبِرْ عَلٰى مَا يَقُوْلُوْنَ وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيْلًا
“Dan bersabarlah (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik”. (QS. Al Muzzammil: 10).
Dahulu kala, Luqmanul Hakim mewasiatkan kepada putranya, seperti dituturkan dalam firman Allah Ta’ala:
يٰبُنَيَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلٰى مَاۤ اَصَابَكَ ۗ اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ ۚ
“Wahai anakku. Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting”. (QS. Luqman: 17).
2. Tingkatan kedua, mereka adalah Ulama yang meremehkan dakwah kepada tauhid yang menjadi dasar agama Islam. Mereka merasa cukup mengajak manusia mengerjakan shalat, memberikan penjelasan hukum dan berjihad, tanpa berusaha meluruskan aqidah umat Islam. Seakan mereka belum mendengar firman Allah Ta’ala:
وَلَوْ اَشْرَكُوْا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Sekiranya mereka menyekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al An’am: 88).
Seandainya mereka dahulu mengajak kepada tauhid sebelum mendakwahkan kepada yang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh para Rasul, tentu dakwah mereka akan berhasil dan akan mendapat pertolongan dari Allah, sebagaimana Allah telah memberikan pertolongan kepada para Rasul dan Nabi-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَـيَسْتَخْلِفَـنَّهُمْ فِى الْاَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِى ارْتَضٰى لَهُمْ وَلَـيُبَدِّلَــنَّهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ اَمْنًا ۗ يَعْبُدُوْنَنِيْ لَا يُشْرِكُوْنَ بِيْ شَيْـئًــا ۗ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذٰلِكَ فَاُولٰٓئِكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang diantara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatupun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. An Nur: 55).
Karena itu, syarat paling asasi untuk mendapatkan pertolongan Allah adalah tauhid dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.
3. Tingkatan ketiga, mereka adalah Ulama dan du’at yang meninggalkan dakwah kepada tauhid dan memerangi syirik, karena takut ancaman manusia, atau takut kehilangan pekerjaan dan kedudukan mereka. Karena itu menyembunyikan ilmu yang diperintahkan Allah agar mereka sampaikan kepada manusia. Bagi mereka adalah firman Allah Ta’ala:
اِنَّ الَّذِيْنَ يَكْتُمُوْنَ مَاۤ اَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنٰتِ وَالْهُدٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا بَيَّنّٰهُ لِلنَّاسِ فِى الْكِتٰبِ ۙ اُولٰٓئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللّٰهُ وَ يَلْعَنُهُمُ اللّٰعِنُوْنَ
“Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Al-Quran), mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat”. (QS. Al Baqarah: 159).
Semestinya para du’at adalah sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala:
الَّذِيْنَ يُبَـلِّـغُوْنَ رِسٰلٰتِ اللّٰهِ وَيَخْشَوْنَهٗ وَلَا يَخْشَوْنَ اَحَدًا اِلَّا اللّٰهَ ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ حَسِيْبًا
“(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan tidak merasa takut kepada siapapun selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan”. (QS. Al Ahzab: 39).
Dalam kaitan ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa menyembunyikan ilmu, niscaya Allah akan mengekangnya dengan kekang dari api Neraka”. [HR. Ahmad, hadits shahih].
4. Tingkatan keempat, mereka adalah golongan Ulama dan para Syaikh yang menentang dakwah kepada tauhid dan menentang berdoa semata-mata kepada Allah. Mereka menentang seruan kepada peniadaan doa terhadap selain Allah, dari para Nabi, wali dan orang-orang mati. Sebab mereka membolehkan yang demikian.
Mereka menyelewengkan ayat-ayat ancaman berdoa kepada selain Allah hanya untuk orang-orang musyrik. Mereka beranggapan, tidak ada satupun umat Islam yang tergolong musyrik. Seakan-akan mereka belum mendengar firman Allah Ta’ala:
اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْۤا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰٓئِكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan Iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk”. (QS. Al An’am: 82).
Dan kezhaliman di sini artinya syirik, dengan dalil firman Allah:
اِنَّ الشِّرْكَ لَـظُلْمٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (QS. Luqman: 13).
Menurut ayat ini, seorang muslim bisa saja terjerumus kepada perbuatan syirik. Hal yang kini kenyataannya banyak terjadi di negara-negara Islam.
Kepada orang-orang yang membolehkan berdoa kepada selain Allah, mengubur mayit di dalam masjid, thawaf mengelilingi kubur, nadzar untuk para wali dan hal-hal lain dari perbuatan bid’ah dan mungkar, kepada mereka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan: “Sesungguhnya aku sangat takutkan atas umatku (adanya) pemimpin-pemimpin yang menyesatkan”. [Hadits shahih, riwayat At Tirmidzi].
Salah seorang Syaikh Universitas Al-Azhar terdahulu, pernah ditanya tentang bolehnya shalat atau memohon ke kuburan, kemudian Syaikh tersebut berkata: “Mengapa tidak dibolehkan shalat (memohon) ke kubur, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di kubur di dalam masjid, dan orang-orang shalat (memohon) ke kuburannya?”
Syaikh Al-Azhar menjawab: “Harus diingat, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dikubur di dalam masjidnya, tetapi beliau dikubur di rumah Aisyah. Dan Rasulullah melarang shalat (memohon) ke kuburan. Dan sebagian dari doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah: "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat". [HR. Muslim].
Maksudnya, yang tidak aku beritahukan kepada orang lain, dan yang tidak aku amalkan, serta yang tidak menggantikan akhlak-akhlakku yang buruk menjadi baik. Demikian menurut keterangan Al-Manawi.
5. Tingkatan kelima, mereka adalah orang-orang yang mengambil ucapan-ucapan guru dan Syaikh mereka, dan mentaatinya meskipun dalam maksiat kepada Allah. Mereka adalah orang-orang yang melanggar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak (boleh) taat (terhadap perintah) yang di dalamnya terdapat maksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam kebajikan”. [HR. Al Bukhari].
Pada hari kiamat kelak, mereka akan menyesal atas ketaatan mereka itu, hari yang tiada berguna lagi penyesalan. Allah Ta’ala menggambarkan siksa-Nya terhadap orang-orang kafir dan mereka berjalan di atas jalan kufur, dalam firman-Nya: “Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam Neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”. (QS. Al Ahzab: 66-68).
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini berkata: “Kami mengikuti para pemimpin dan pembesar dari para Syaikh dan guru kami, dengan melanggar ketaatan kepada para Rasul. Kami mempercayai bahwa mereka memiliki sesuatu, dan berada di atas sesuatu, tetapi kenyataannya mereka bukanlah apa-apa”.
Walhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallahu ‘alaa Muhammadin.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Sumber:bKitab Minhaj al-Firqah an-Najiyah wa Ath-Tha’ifah al-Manshurah (Jalan Golongan Yang Selamat) Karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.
🔰 @Manhaj_salaf1
•┈┈•••○○❁🌻💠🌻❁○○•••┈┈•
Mau dapat Ilmu ?
Mari bergabung bersama GROUP MANHAJ SALAF
📮 Telegram : http://t.me/Manhaj_salaf1
📱 Whatshapp : 089665842579
🌐 Web : dakwahmanhajsalaf.com
📷 Instagram : bit.ly/ittibarasul1
🇫 Fanspage : fb.me/ittibarasul1
Share, yuk! Semoga saudara² kita mendapatkan faidah ilmu dari yang anda bagikan dan menjadi pembuka amal² kebaikan bagi anda yang telah menunjukkan kebaikan. آمِينَ.
Posting Komentar untuk "Jalan Golongan Yang Selamat (Bagian 10)"
Berkomentarlah dengan bijak