Kenapa Takut Sendiri?
Oleh Ustadz Abu Abd rahman bin Muhammad Suud al Atsary hafidzhahullah
Sebuah kesiapan mengarungi kehidupan dengan kesendirian.
Dalam ilmu sosial, manusia digolongkan dalam makhluk sosial, dalam arti ia tidak bisa hidup sendiri. Ia tidak bisa mewujudkan hajat hidup sendiri, perlu orang lain. Maka itu syariat mengajarkan kita untuk bergaul dengan manusia lainnya dan bersabar atas gangguan-gangguan mereka.
Sebagian orang terbagi pada dua kutub ekstrim, dan demikianlah manusia, bila tidak jatuh pada ekstrim kanan secara berlebihan, ia berlaku ekstrim kiri, berkekurangan. Dan agama kita mengajarkan sikap moderat, pertengahan.
Baik, kita kembali pada pembahasan.
Sebagian orang karena ia takut terkucil dari masyarakatnya, maka ia berusaha menyesuaikan diri dengan tradisi dan kebiasaan setempat, ia bukan mewarnai, tapi diwarnai, bahkan dalam sikap beragama, baginya lebih baik salah tapi bersama-sama, daripada benar tapi sendiri.
Inilah madzhab Abu Thalib. Dimana ia mati mengikuti agama nenek moyang, daripada mendapat cercaan dari masyarakat dengan mengikuti agama keponakannya, Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kutub ekstrim kedua, adalah seorang yang mengisolir diri dari masyarakat. Menempati khaniqah-khaniqah (tempat pertapaan) kaum Sufi, menganggap masyarakat rusak, dan ia takut dengan ketakutannya sendiri, kemudian muncul darinya sifat antipati dan kesombongan, serta menganggap uzlah (mengasingkan/mengisolir diri) adalah cara mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana hidup seperti orang nasrani di biara-biara. Dua hal ini adalah sikap ekstrem.
Sebagian orang juga beranggapan bahwa hidup lengkap semua keluarga ada, bapak, ibu, anak, dan kerabat, bisa makan bareng, tau kondisi dan kecukupan mereka. Sehingga mereka mengangap kurangnya anggota keluarga, menunjukkan ketidakbahagiaan.
Ketika kami membaca sirah kehidupan Shahabat yang mulia Abu Dzar Al Ghifari radhiallahu anhu, dan bagaimana kisah beliau dalam memegang kebenaran. Muncul semangat dalam diri, dan juga lautan pelajaran.
Diantara pelajaran yang kami dapat, adalah gambaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentangnya:
رحم الله ابا ذر يمسي وحده و يموت وحده و يبعث وحده
"Semoga Allah berbelas kasih kepada Abu Dzar, ia berjalan di bumi (hidup) sendiri, mati sendiri, dan esok dibangkitkan sendiri". [Riwayat Ibnu Ishaq dalam Maghazi dan Ibnu Hisyam dalam sirah 2:524], ada pembicaraan Ulama tentang status riwayat ini, dan ada dua jalur kisah ini.
Ya, pelajaran itu adalah kesiapan kita dalam membela apa yang diyakini dan aqidah serta manhaj yang ia pegang. Sebagian orang takut dicerca dan ditinggalkan orang lain, atau komunitasnya, ketika berusaha baik dan hijrah kepada sunnah. Konsekuensi dari semua itu, bahkan sebagian orang kembali pada kehidupan lama, yang tidak ada tantangan dan ujian karena stagnan (hidup biasa). Dan tidak bisa tahan dengan ujian.
Beda dengan ketika seorang berhijrah, kembali pada jalan Rabbnya, ketika itu awal ujian, bahkan ujian bertubi-tubi datang. Terutama ujian untuk istiqamah.
Kenapa di tengah kebenaran dan meyakini keyakinan yang benar, kita takut. Takut untuk sendiri? Apa yang kita takutkan? Bukankah hakikatnya kita hidup sendiri, dalam makna -semua manusia tidak bisa memberi manfaat dan menolak madzarat- dari diri kita, hatta keluarga sendiri?
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
و كلهم آتىه يوم القيامة فردا.
"Dan setiap dari mereka (manusia) akan datang kepada-Nya (Allah) pada hari kiamat sendirian". (QS. Maryam: 95).
Imam Mufasir, Abdurahman bin Nasir bin Abdillah As Sady rahimahullah berkata:
أي لا أولاد و لا مال و لا انصار ليس معه إلا عمله فيجازيه الله و يوفيه حسابه ، إن خيراً فخير ، و إن شراً فشر .
"Yakni, (hidup) tanpa disertai anak, harta, dan para penolong, tidak ada yang menyertai/mendampingi kecuali amalnya. Maka Allah memberikan balasan, dan menyempurnakan perhitungan amalnya. Bila baik amalnya, maka baik balasannya, bila buruk, buruk pula balasannya". (Lihat Tafsir Karimir Rahman surah 19:95).
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga mengingatkan hamba-hamba-Nya:
و لقد جئتمونا فرادى كما خلقناكم أول مرة
"Dan sesungguhnya kalian datang esok kepada Kami sendirian sebagaimana Kami menciptakan kalian pada permulaan". (QS. Al An'am: 94).
Hakikatnya kita hidup di dunia sendiri, berjalan menuju akhirat sendiri, di kuburan sendiri, di Mahsyar sendiri, dan mempertanggung jawabkan amal kita sendiri. Maka, setelah kita perbaiki diri, kemudian berusaha menebar hidayah dikeluarga dan masyarakat, kemudian kita dikucilkan, lalu mengapa kita takut sendiri dalam mempertahankan aqidah dan manhaj yang haq, yakni manhaj yang Nabi dan Shahabatnya di atasnya.
Di tengah keluarga, saudara, dan masyarakat kita? Sedang merekapun sendiri-sendiri dalam mempertanggung jawabkan amalnya nanti di hadapan Allah?
Kita tidak pernah akan meninggalkan keluarga dan masyarakat, kita akan terus berbagi hidayah, namun bila dengan sebab itu kita dikucilkan, tidak semua hal yang menyendiri itu buruk.
Catatan:
[] Secara maknawi.
[] Kisah Abu Dzar dengan khalifah Utsman, perlu kita sikapi sebagai bentuk ijtihad Shahabat, bukan pertentangan, kita tidak akan berbicara mengenai Shahabat kecuali bahwa mereka semua adalah diridhai Allah.
Maraji:
• Hiqbah minat tarikh
• Mukhtashar minhajul qosidin
• Nuzhat fudhala tahzib siyar alami nubala
• Taisir karimir rahman fi tafsir kalami manan
• Minhaju sunnah.
🔰 @Manhaj_salaf1
•┈┈•••○○❁🌻💠🌻❁○○•••┈┈•
Mau dapat Ilmu ?
Mari bergabung bersama GROUP MANHAJ SALAF
📮 Telegram : http://t.me/Manhaj_salaf1
📱 Whatshapp : 089665842579
🌐 Web : dakwahmanhajsalaf.com
📷 Instagram : bit.ly/ittibarasul1
🇫 Fanspage : fb.me/ittibarasul1
Share, yuk! Semoga saudara² kita mendapatkan faidah ilmu dari yang anda bagikan dan menjadi pembuka amal² kebaikan bagi anda yang telah menunjukkan kebaikan. آمِينَ.
Posting Komentar untuk "Kenapa Takut Sendiri?"
Berkomentarlah dengan bijak