Peringatan Akan Bahayanya Menggunakan Istilah Syar'i Tanpa Memahami Maknanya Dengan Benar
Oleh Ustadz Berik Said hafidzhahullah
Ada banyak diantara kita, -tak mustahil sang penulis ini sendiri- menggunakan istilah-istilah syar’i yang sebenarnya tak tepat, sehingga justru hal itu dapat menimbulkan syubhat dalam agama.
Misal, saat kita menasehati orang lain dengan landasan syar'i yang kuat, lalu justru dijawab atau dibalas dengan perkataan kamu jangan menganggap dirimu suci.
Tak diragukan lagi, menganggap diri kita lebih suci dari orang lain adalah memang benar diharamkan dalam islam, dan ini jelas termaktub dalam ayat Al-Quran berikut:
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى.
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia-lah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa.” (QS. An-Najm: 32)
Tetapi apa, setiap bentuk nasehat akhirnya diartikan bahwa pihak yang menasehati berarti merasa dirinya lebih suci dari orang lain ? Disinilah syubhatnya.
Betapa berbahayanya ini jika terjadi. Ini langsung atau tak langsung, disadari atau tak disadari berarti menabrakkan ayat Al-Quran tentang perintah saling menasehati dalam kebenaran dan taqwa dan larangan Al-Quran dari menganggap diri lebih suci dari orang lain. Tak mungkin ayat Al-Quran saling kontradiktif. Jadi apa penyebab utama hal ini sering terjadi ?
Jawabannya, ini semua dikarenakan orang yang mengutip ayat larangan menganggap diri lebih suci tersebut tak memperhatikan penjelasan para Ulama apa batasan menganggap diri lebih suci dari orang lain dan hal yang terkait dengan itu agar nanti tidak salah paham.
Inilah yang akhirnya menabrakkan syari'at perintah saling menasehati dengan larangan menganggap diri suci.
Perhatikanlah hal ini, karena banyak diantara kita yang terjebak dalam hal ini akibat kurangnya kita merujuk kepada penjelasan para Ulama Ahlus Sunnah saat menggunakan istilah atau maksud syari’at.
Contoh lain, penggunaan istilah moderat dan berlebihan.
Sering orang menyebut mereka yang taat pada agama, taat menegakkan sunnah sebagai berlebihan, ekstrim, dan sebagainya yang berkonotasi negatif. Bersamaan dengan itu, justru mereka yang melanggar syari'at menyebut dirinya atau perbuatannya tersebut sebagai sikap moderat.
Dalam contoh nyata kehidupan sehari-hari, tak sedikit mereka jika melihat yang celananya cingkrang, berjenggot, dan bercadar dikatakan sebagai berlebihan dalam beragama, dan terkadang mereka menyebut ini sebagai bentuk ekstrim dalam beragama. Bersamaan dengan itu, saat dirinya celananya melewati mata kaki (untuk laki-laki), memangkas jenggot, berkerudung gaul atau bahkan tidak berkerudung sama sekali dan sebagainya, yang padahal ini semua adalah pelanggaran terhadap syari’at. Justru menganggap sebagai sikap moderat. Allahul musta’an..
Mereka tak paham bahwa istilah melampaui batas dan moderat dalam syariat itu sudah lama ada dalam Al-Quran dan hadits, dan sudah banyak dijelaskan para Ulama Ahlus Sunnah.
Terkadang sikap melampaui batas itu disebut ghuluw (الغلو) , tanaththu (التنطع) dan ada beberapa istilah lainnya.
Sikap melampaui batas dalam syari'at juga dibagi dua yakni, الإفراط (al Ifraath) yakni sikap melampaui batas dari apa yang diperintahkan, sebagaimana yang banyak dilakukan ahlu bid’ah, dan التفريط (at tafrith) yakni sikap meremehkan perintah syariat, seperti yang banyak dilakukan ahli maksiat. (lihatlah masalah ini, salah satunya pada kitab اقتضاء الصراط المستقيم لمخالفة أصحاب الجحيم, karya Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Kitab ini teramat bagus membahas masalah yang terkait dengan masalah melampaui batas dalam beragama).
Jadi kalau dalam bahasa syari'at, sikap meremehkan terutama meninggalkan sesuatu yang sifatnya wajib juga disebut berlebihan, ghuluw/tanaththu/ekstrim.
Sikap meremehkan syari'at, seperti memotong jenggot, celana melampaui mata kaki (kengser) bagi lelaki, berkerudung asal-asalan, apalagi tidak berhijab sama sekali, maka mereka inilah yang semestinya disebut ghuluw/melampaui batas, dan ekstrim.
Adapun sikap moderat, dalam bahasa syari'at disebut sebagai tawassuth (التوسط), yakni sikap pertengahan, maksudnya pertengahan antara tafrith dan ifroth.
Jadi sebenarnya orang yang taat agama justru mesti disebut moderat. Dan bukannya ekstrim atau berlebihan. Lihat bahaya salah mengerti penggunaan bahasa syari'at ini, fatal. Maka, pahamilah sungguh-sungguh masalah ini agar jangan sampai bumerang bagi kita menggunakan istilah syar'i tanpa memahaminya dengan benar berdasarkan tuntunan para Ulama Ahlus Sunnah.
Demikian pula istilah mengolok-olok atau meremehkan orang lain yang dalam bahasa syari’at biasa digunakan dengan dua kalimat yakni, الاستهزاء (al istihzaa') dan terkadang dengan istilah السخرية (as sukhriyyah). Yang makna kedua kalimat di atas adalah mengolok-olok, meremehkan. (lihat Lisaanul ‘Arab karya Ibnul Manzhur rahimahullah IV: 352, Taajul ‘Urus karya az Zubaidi rahimahullah I: 509, at Tauqiif ‘alaa Muhimmaatit Ta’aariif, karya al Munawi rahimahullah hal. 50, dan lain-lain).
Tidak diragukan lagi secara umum bahwa meremehkan orang lain, mengolok-olok mereka, maka haram tanpa ada ikhtilaf lagi. Apalagi bila disertai anggapan diri kita lebih baik dari mereka.
Hal ini sebagaimana Allah ungkapkan dalam ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan (as sukhriyya) kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik." (QS. Al-Hujurat: 11)
Namun jika Anda mengatakan, kami muslim lebih baik dari orang kafir atau anda katakan orang kafir itu lebih bagaikan binatang ternak bahkan lebih buruk lagi.
Apakah dengan ucapan ini, berarti kita terkena ancaman larangan mengolok-olok dan meremehkan orang lain (al istihza/as sukhriyyah) sebagaimana yang disebutkan pada ayat di atas ?
Tentu tidak, tak ada satupun Ulama yang menyatakan ini termasuk istihza/sukriyyah yang diharamkan. Demikian pula bila anda mengecam kesyirikan dan memburukkan ahlul bid’ah dan kebid'ahan, misal anda mengatakan waspadai dukun-dukun penipu atau anda berkata bagaimana mungkin dukun mengatakan bahwa ia mampu membuat orang kaya, sementara hidupnya sang dukun itu sendiri parah ekonominya, atau awas jangan terkecoh dengan kebid'ahan, ahlul bid’ah itu menjerumuskan pada kesesatan, atau mereka yang tak mau memenuhi seruan adzan itu sungguh aneh, karena begini dan begitu, atau orang-orang yang tak menghormati sunnah itu tak punya kehormatan, dan sebagainya. Apakah pernyataan ini termasuk istihza dan sukhriyyah yang dilarang yang dimaksudkan ayat di atas ? Tentu tidak.
Karena itu kita lihat para Ulama umumnya memasukkan masalah ini justru pada bab ghibah yang wajib, dan bukan pada bab as sukhriyyah.
Silakan rujuk salah satunya kitab manhaj Mauqif Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Mim Ahlil Bida' Wal Ahwa, Karya Dr. Ar Ruhaili hafizhahullah jika ingin memperjelas masalah ini.
Coba Lihat contoh-contoh istihza atau sukhriyyah yang dikemukakan para Ulama dalam ratusan kitab atau artikel, agar kita tak menafsirkan istilah syar'i hanya dengan perasaan atau logika kita sendiri.
Semoga artikel ini bermanfaat, dan semoga Allah Ta’ala memaafkan seluruh kesalahan dan kekhilafan kita semua, tentu terutama kesalahan dan kekhilafahan sang penulis risalah ini sendiri.
Semoga pula kita selalu mau merujuk kepada perkataan para Ulama di saat kita hendak menggunakan istilah istilah syari’at atau saat mau membicarakan persoalan yang terkait agama pada khususnya, Aamiin...
Walhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallahu ‘alaa Muhammadin
•┈┈•••○○❁🌻💠🌻❁○○•••┈┈•
Mau dapat Ilmu ?
Mari bergabung bersama GROUP MANHAJ SALAF
📮 Telegram: http://t.me/Manhaj_salaf1
📱 Whatshapp: 089665842579
🌐 Web: dakwahmanhajsalaf.com
📷 Instagram: http://Instagram.com/ittibarasul1
🇫 Fanspage: http://fb.me/ittibarasul1
Share, yuk! Semoga saudara² kita mendapatkan faidah ilmu dari yang anda bagikan dan menjadi pembuka amal² kebaikan bagi anda yang telah menunjukkan kebaikan. آمِينَ.
Posting Komentar untuk "Peringatan Akan Bahayanya Menggunakan Istilah Syar'i Tanpa Memahami Maknanya Dengan Benar"
Berkomentarlah dengan bijak